
Yogyakarta, tempat ke-dua setelah Pulau Bali yang saya cintai. Berada di bagian tengah dari Pulau Jawa, tepatnya di pesisir selatan yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia.


Hujan dan kabut mengiringi perjalanan kami
3 Juli kemarin saya berkunjung ke sana lagi. Setelah terakhir saya ke sana sekitar tahun 2008. Berangkat dari Jakarta dengan Kereta Api Taksaka I sekitar Pukul 08.45 WIB dengan 2 orang teman saya, yaitu Bimo dan Shasya. Tiba di sana sekitar Pukul 18.00 WIB, perjalanan telat sekitar 1 jam dari yang seharusnya.

Monumen Serangan Umum 1 Maret

Perempatan Alun-alun Utara
Tidak ada yang banyak berubah dari kota itu. Mungkin agak sedikit padat. Atau mungkin karena waktu itu bertepatan dengan Muktamar salah satu Organisasi Islam terbesar. Entahlah. Yang jelas, parkiran di Malioboro tetap sama seperti 2 tahun lalu, tetap "Full Pressed Parking". Motor berdesak-desakkan berjajar di sebelah kiri jalan, di depan emperan toko-toko, hotel dan mall. Sementara di sebelah kanan berjajar para penjaja cindera mata khas Yogyakarta.

Kunci Motor Honda Astrea '93

Sesaknya parkiran Malioboro tidak membuat kecintaan saya terhadap kota ini berkurang. Kenapa? Karena sesak-nya tidak menghilangkan sikap ramah dan toleran juru parkirnya. Dalam keadaan yang sangat sempit mereka tetap ramah mengeluarkan motor-motor sang pengunjung. Kota ini benar-benar menawarkan berjuta keramahan. Mungkin yang tidak ramah hanyalah para pengamen pendatang luar kota yang tidak berbudaya. Sangat berbeda dengan Jakarta, dibalik semakin sesaknya kota, justru kebengisan semakin tumbuh.

Sempat Tersesat dan Menemukan Gedung Kosong Sebesar Ini
Selanjutnya, faktor ke-dua yang membuat saya jatuh cinta adalah keteraturan lalu-lintasnya. Sama halnya dengan Bali lalu-lintas di sini teratur. Para pengendara sepeda motor dengan tertib berhenti di belakang garis. Tidak ada pengendara yang ingin "mengalahkan" sesama pengendara lainnya di jalan. Jauh jika dibandingkan dengan Jakarta. Sangat jauh.

Berkunjung ke Universitas Islam Indonesia


Saya berada di sana selama 1 minggu. Menginap di sebuah rumah eyang teman di daerah Taman Siswa dengan keluarga yang ramah dan masih memiliki Budaya Jawa yang kuat, maklum keluarga itu masih ada unsur Darah Biru-nya. Banyak pelajaran yang bisa didapat dari keluarga itu, tentang sebuah kasih sayang dalam keluarga yang erat di setiap generasinya.

Pantai Parang Tritis

Kaliurang, Tamansari dan Pantai Parah Tritis sempat saya singgahi bersama teman-teman saya. Perjalanan ke Pantai Parang Tritis menurut saya yang paling berkesan. Semakin menjauhi pusat kota, jalanan menjadi semakin sepi, ditambah lagi jalan yang lurus dengan persawahan dan pohon-pohon di sebelah kiri dan kanan.

Lesehan di Alun-alun Kidul (Selatan)

Wedang Ronde


Tepat tanggal 10 Juli saya kembali ke Jakarta. Kembali menggunakan Kereta Api Taksaka Malam yang berangkat Pukul 08.00 WIB dari Stasiun Tugu. Ada perasaan berat ketika saya meninggalkan kota itu. Itu artinya saya harus menjauh dari keramahan dan keteraturan. Pertanyaan yang mucul selanjutnya adalah "kapan saya bisa ke sini lagi?."

Waroeng Steak (Menu Paling Mahal: Rp. 27.500)

Lesehan Malam Terakhir di Malioboro
Ya, Yogyakarta sukses membuat saya jatuh cinta.
NB: Foto-foto lain di sini